Group 1321314532 (2)

Belajar Permakultur dari Rumah Kayu Permaculture (RKP): Menyuburkan Tanah, Menghidupkan Harapan

Sabtu pagi tanggal 12 Juli 2025, 15 orang petani dan peternak muda selaku peserta pelatihan mengikuti kegiatan yang bertajuk “Pelatihan Petani dan Peternak Muda, Site Visit: Rumah Kayu Permaculture (RKP)” di daerah Bandung Barat. Acara ini digagas oleh Konsorsium PUPA yang terdiri dari Seni Tani dan AKATIGA, dengan YPBB sebagai pengamat, serta didukung oleh Humanis Foundation dalam program Urban Futures. Pembukaan pelatihan dipandu oleh Taufiq dari Seni Tani dengan berbagi pengalaman, pemaparan detil kegiatan, serta pengenalan pemateri yaitu Luky L. Santoso selaku dosen UNPAR dan asesor pertanian. Luky membuka sesi dengan cerita pengalaman pribadi sembari memperkenalkan konsep dasar permakultur. 

 

Gambar 1. Luky Sedang Memaparkan Materi
(Credit Foto: Humanis – Paguyuban Pangan/UF Indonesia/Irfan Muhammad/2025)

Di awal pemaparan, Luky menegaskan bahwa tidak ada limbah dalam permakultur. Semua bahan organik harus diolah kembali menjadi sumber daya. Sedangkan limbah anorganik dialihfungsikan agar dapat dimanfaatkan kembali, contohnya seperti limbah plastik jeriken yang diubah menjadi pot tanaman. “Permakultur tidak boleh menghasilkan sampah,” ucapnya. Luky berpesan bahwa inti dari permakultur adalah menyuburkan tanah. “Yang kita kasih makan itu bukan tanamannya tapi tanahnya,” ujarnya. Dengan cara ini tanah menjadi subur secara alami dan regeneratif, alih-alih menguras unsur hara. 

 

Gambar 2. Contoh Pemanfaat Limbah
(Credit Foto: Humanis – Paguyuban Pangan/UF Indonesia/Irfan Muhammad/2025)

Selama diskusi interaktif, para peserta belajar bahwa pertanian dan peternakan dapat saling terintegrasi melalui siklus biomassa. Misalnya, area kandang kambing dibagi menjadi 4 petak dan ditanami sorgum di tepi pagarnya. Kambing lalu dipindah-pindah antar petak agar tanaman sorgum bisa tumbuh bergantian dan tidak habis. Teknik ini dinamakan Lazy Farmer, yaitu mengoptimalkan penggunaan lahan melalui integrasi ternak dengan tujuan mendorong keanekaragaman hayati dan meningkatkan kesehatan tanah.  

Para peserta diajari membuat resep kompos cepat 10 hari dengan komposisi 9 ranting, 6 daun hijau, dan 3 SOD (Sampah Organik Dapur) yang kemudian disiram larutan mikroorganisme seperti eco-enzyme atau Bio-Soltamax serta diaduk per 2-4 hari. Luky juga memperagakan budidaya vermikompos yang memanfaatkan cacing Lumbricus untuk menguraikan sampah organik dan mengubahnya menjadi pupuk yang bernutrisi tinggi.

 

Gambar 3. Peragaan Pembuatan Kompos
(Credit Foto: Humanis – Paguyuban Pangan/UF Indonesia/Irfan Muhammad/2025)

Salah satu bahasan menarik adalah strategi monetisasi permakultur berbasis 4F 2E (Food, Feed, Fertilizer, Fuel, Ecotourism, Education). Luky menjelaskan bahwa 4F 2E ini menjadi “sumber uang” bagi petani permakultur. Setiap aspek kebun dan ternak harus bisa diolah menjadi potensi bisnis yang bernilai tinggi sekaligus menciptakan siklus bioekonomi yang berkelanjutan. Praktik yang dilakukan oleh Luky menunjukan pendekatan yang produktif dan ramah lingkungan, bukan hanya untuk menekan biaya produksi. 

Dalam segi bisnis, Luky menekankan pentingnya untuk berpikir value-added agar produk dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi. Produk yang ditawarkan harus didukung dengan strategi pemasaran dan target pasar yang jelas dan tepat. Di sesi ini peserta diajak untuk melihat peluang bisnis besar di pertanian, salah satunya adalah ekowisata. Lahan permakultur ini berpotensi menjadi destinasi wisata alam dan wisata edukasi yang bernilai inklusif dan partisipatif.

 

Gambar 4. Peserta Menyimak Pemaparan Materi
(Credit Foto: Humanis – Paguyuban Pangan/UF Indonesia/Irfan Muhammad/2025)

Usai pemaparan materi, peserta melakukan tur kebun Rumah Kayu Permaculture (RKP). Mereka melihat secara langsung bagaimana desain kawasan permakultur diimplementasikan. Pepohonan sengaja ditanam di sisi barat agar mengurangi paparan sinar matahari langsung serta mengatur sirkulasi angin, hal ini disinyalir dapat menurunkan suhu area hingga 2–3°C. Terdapat penampungan air hujan yang memiliki sistem pemisah air kotor hujan pada 10 menit pertama, sehingga hanya air hujan bersih yang disimpan untuk kebun dan rumah tangga. Aneka tanaman seperti dombeya, kelor, vanili, hingga beluntas ditanam tidak hanya untuk hasil pangan, tetapi juga sebagai penarik hama dan predator alami. Kehadiran stingless bee dan kupu-kupu sebagai polinator semakin membuktikan kebun tanpa penggunaan pestisida. Semua elemen tata ruang ini dirancang tidak sekadar untuk produktivitas, tetapi juga untuk kepentingan estetika dan kenyamanan, sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem. Semua aspek ini mencerminkan prinsip permakultur: earth care, people care, dan fair share, yaitu merawat dan menjaga lingkungan, memanfaatkan sumber daya alam secara bijak, serta berbagi hasil secara adil.

 

Gambar 5. Peserta Melakukan Tur Kebun
(Credit Foto: Humanis – Paguyuban Pangan/UF Indonesia/Irfan Muhammad/2025)

Di sesi refleksi, para peserta mengungkapkan kesan mereka. “Saya sangat terinspirasi dari segala aspek yang ‘wah’ dan tata kelola yang terstruktur sehingga orang yang akan datang pun akan betah,” ucap salah satu peserta. “Di sini semua sangat terintegrasi, satu bangunan bisa ada kebermanfaatan untuk bangunan yang lain. Banyak inovasi yang bisa diterapkan dan bukan hanya teori saja,” ujar peserta lainnya. Pendekatan praktis yang tadinya hanya teori di lapangan kini nyata di hadapan mereka. Luky menutup kegiatan sekaligus pertemuan hari ini dengan harapan agar tetap bisa berinteraksi dan bekerja sama. “Ini bukan pertemuan terakhir tapi awal, mari kita buat hal terbaik untuk bumi kita,” harapnya dengan tersenyum.

Tentang Konsorsium Paguyuban Pangan (PUPA)

Konsorsium Paguyuban Pangan (PUPA) yang terdiri dari AKATIGA dan Seni Tani mempunyai fokus yang sama yaitu bertujuan untuk mendorong partisipasi aktif generasi muda. Fokusnya termasuk kelompok marginal, dalam upaya produktif di bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dan hal yang bermanfaat tidak hanya bagi generasi muda itu sendiri tetapi juga bagi komunitas dan masyarakat luas. Tujuan dari Urban Futures adalah untuk mendorong kolaborasi dan advokasi generasi muda untuk penetapan prioritas dalam peningkatan kebijakan pangan inklusif, selaras dengan pembelajaran dan bukti dari penelitian AKATIGA. Sementara itu, program Seni Tani memperkuat relevansi konsep sistem pangan lokal yang kami tawarkan, dengan landasan kuat dalam pengembangan Community Supported Agriculture (CSA) yang menampilkan mekanisme pertanian berkelanjutan. 

Tentang Urban Futures (UF)

Urban Futures (UF) adalah program global berdurasi 5 tahun (2023–2027) yang memadukan sistem pangan perkotaan, kesejahteraan orang muda, dan aksi iklim. Program ini dikelola oleh Hivos, Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), serta mitra, jejaring, dan pakar lokal. Urban Futures beroperasi di 10 kota di Kolombia (Cali dan Medellín), Ekuador (Manabí dan Quito), Indonesia (Bandung dan Manggarai Barat), Zambia (Chongwe dan Kitwe), dan Zimbabwe (Bulawayo dan Mutare). Kota-kota perantara ini memiliki ukuran yang bervariasi namun memiliki kesamaan, yaitu berkembang dengan pesat, menghubungkan wilayah metropolitan dan pedesaan atau kelompok kota yang berbeda di dalam suatu sistem perkotaan, dan mengelola arus orang, barang, modal, informasi, dan pengetahuan. Masing-masing kota ini memiliki tantangan dan peluang yang berbeda.

Frame 1686555751 (1)

Penulis:

Irfan Muhammad

Tim Seni Tani

Baca Juga Tentang

Sabtu pagi, 2 Agustus 2025 suasana Kebun Seni Tani di Cigadung, Kota Bandung berbeda dari biasanya. Hiruk pikuk canda dan

Sabtu pagi tanggal 12 Juli 2025, 15 orang petani dan peternak muda selaku peserta pelatihan mengikuti kegiatan yang bertajuk “Pelatihan

Seni Tani adalah usaha sosial di bidang pertanian perkotaan, gerakan ini lahir atas kegelisahan dan kekhawatiran kami, lima orang muda

Sawi Putih Sudahkan Anda mencicipi Sawi Putih dari Kebun Seni Tani? Ya, akhirnya kami berhasil menanam Sawi Putih! Bagi Kami,