Sabtu pagi, 2 Agustus 2025 suasana Kebun Seni Tani di Cigadung, Kota Bandung berbeda dari biasanya. Hiruk pikuk canda dan yel-yel khas Pramuka terdengar bersahutan, berpadu dengan aroma tanah basah dan hijaunya tanaman sayuran. Hari itu, Kebun Seni Tani menjadi ruang belajar terbuka bagi adik-adik Pramuka. Mereka datang mengikuti kegiatan NGERUK! (Ngebun Seru Yuk!), sebuah kegiatan seru untuk masyarakat khususnya orang muda untuk belajar berkebun. Program ini termasuk dalam rangkaian Urban Futures (UF) yang digagas oleh Konsorsium Paguyuban Pangan (PUPA) yang terdiri dari Seni Tani dan AKATIGA, serta didukung oleh Humanis, sebagai upaya sederhana tapi penting: mengenalkan sejak dini bahwa makanan kita berawal dari tanah dan benih kecil yang tumbuh dengan penuh kesabaran.
Anak-anak adalah generasi yang akan menentukan arah masa depan, termasuk bagaimana kita memandang dan mengelola pangan. Itulah mengapa kegiatan NGERUK! kali ini secara khusus menyasar adik-adik Pramuka. Di usia dini, mereka lebih mudah menyerap pengalaman nyata dibandingkan hanya mendengar cerita. Dari kebun, mereka belajar bahwa makanan bukan produk instan, melainkan hasil kerja alam yang membutuhkan kesabaran dan kepedulian. Semakin awal mereka memahami hal ini, semakin besar peluang mereka tumbuh menjadi pribadi yang menghargai pangan sehat, peduli pada petani, dan menjaga lingkungan. Dengan kata lain, mengajak anak kecil berkebun bukan hanya mengajarkan keterampilan, tetapi juga menanamkan nilai hidup yang akan mereka bawa hingga dewasa.
NGERUK! bukan sekadar aktivitas bercocok tanam, melainkan upaya menghadirkan pengalaman belajar alternatif di tengah kota. Seni Tani percaya bahwa kebun bisa menjadi ruang pembelajaran yang hidup, tempat orang mengenal pangan, lingkungan, sekaligus membangun kebersamaan. Kolaborasi dengan Pramuka terasa istimewa. Gerakan Pramuka sejak lama identik dengan kemandirian, cinta alam, dan kebersamaan. Melalui kegiatan ini, anak-anak tidak hanya berlatih baris-berbaris, tetapi juga belajar menanam, merawat tanah, hingga memahami pentingnya pangan lokal.
Gambar 1. Irene (Pembina) Memberikan Pengarahan kepada Pramuka Siaga
(Credit Foto: Humanis – Paguyuban Pangan/UF Indonesia/Ady Nura/2025)
Menyambut dengan Cerita
Kegiatan diawali dengan kisah sederhana namun penuh makna dari Fathan sebagai pemateri dari Seni Tani tentang asal-usul makanan. Di depan papan tulis, ia menggambar dan bertanya pada peserta, “Berasal darimana sebenarnya nasi, sayur, atau buah yang kita makan setiap hari?”. Pertanyaan itu seketika membuat anak-anak terdiam sejenak, lalu saling menatap penuh penasaran. Bukan dari pasar, bukan dari dapur, tetapi dari sebuah perjalanan panjang benih kecil yang tumbuh di tanah, dirawat dengan kesabaran dan kasih sayang, hingga akhirnya hadir di piring makan kita. Dari cerita singkat itu, anak-anak mulai menyadari bahwa setiap suap makanan menyimpan jejak kerja alam dan tangan petani.
Mengenal Tanah dan Benih
Pada sesi berikutnya, anak-anak diajak untuk berkenalan dengan tanah. Mereka diminta menyentuh, mencium, dan mengamati media tanam yang terdiri dari sekam bakar, pupuk kascing, dan tanah. Suasana pun jadi riuh ketika ada yang meringis geli melihat cacing menggeliat, ada pula yang tersenyum takjub karena baru tahu tanah memiliki aroma khas yang menenangkan. Setelah itu, Fathan memperlihatkan benih dan bibit yang sudah tumbuh. Dengan mata berbinar, anak-anak membandingkan bentuk, warna, dan ukuran, sambil berebut menceritakan kesan pertamanya. Dari hal sederhana ini, mereka mulai memahami bahwa tanaman berawal dari sesuatu yang kecil, namun bisa tumbuh menjadi besar bila dirawat dengan baik.
Gambar 2. Peserta Pramuka Siaga Mengaduk Media Tanam
(Credit Foto: Humanis – Paguyuban Pangan/UF Indonesia/Ady Nura/2025)
Belajar dengan Tangan Sendiri
Tibalah saat yang paling ditunggu yaitu praktik berkebun. Anak-anak dibagi ke dalam kelompok kecil untuk membuat media tanam. Dengan penuh semangat, mereka mencampur tanah, sekam bakar, dan pupuk kascing sambil sesekali menambahkan air. Tangan mereka yang kotor oleh tanah justru membuat suasana semakin seru, sementara senyum dan tawa mereka menandakan betapa asyiknya belajar langsung di kebun. Tidak berhenti disitu, mereka kemudian belajar menyemai benih di tray semai. Setiap anak memberi label nama pada lebihnya, seperti “Kangkung” dan “Bayam”. Label kecil itu seakan menjadi janji, bahwa mereka akan menunggu, merawat, dan menyaksikan benih-benih itu tumbuh menjadi tanaman yang siap dipanen.
Dari Tray Semai ke Bedeng
Sesi selanjutnya yaitu praktik pindah tanam bibit ke bedeng yang sudah disiapkan. Sebelum mulai, anak-anak diperkenalkan terlebih dahulu teknik dasar. Mulai dari bagaimana memindahkan bibit dengan hati-hati, menentukan jarak tanam agar tidak saling berebut nutrisi, serta cara menyiram dengan air maupun eco enzyme. Dengan panduan fasilitator, setiap kelompok lalu mencoba menanam bibit ke dalam bedeng. Ada yang masih canggung memegang batang mungil itu, ada juga yang terlihat percaya diri setelah sekali mencoba. Ketika bibit akhirnya berdiri tegak di tanah kebun, wajah-wajah kecil itu pun memancarkan kebanggaan. Seolah mereka baru saja menanam harapan yang suatu hari akan tumbuh menjadi sumber kehidupan.
Refleksi dan Penutupan
Menjelang siang, semua kembali ke area komunal. Mereka mencuci tangan, duduk melingkar, dan berbagi kesan. Beberapa peserta menyebutkan bahwa mereka baru menyadari makanan tidak datang begitu saja dari pasar. Ada juga yang merasa lebih menghargai setiap butir nasi setelah tahu proses panjang yang harus dilewati.
Kegiatan ditutup dengan ucapan terima kasih, foto bersama, dan tentu saja kudapan sehat. Melalui NGERUK! bersama Pramuka, Seni Tani menunjukkan bahwa kebun bukan hanya tempat produksi pangan, melainkan juga ruang pendidikan. Anak-anak belajar partisipasi, empati pada alam, dan pentingnya pangan sehat. Dari pengalaman sederhana ini, tumbuhlah kesadaran baru bahwa menjaga tanah berarti juga menjaga masa depan.
Tentang Konsorsium Paguyuban Pangan (PUPA)
Konsorsium Paguyuban Pangan (PUPA) yang terdiri dari AKATIGA dan Seni Tani mempunyai fokus yang sama yaitu bertujuan untuk mendorong partisipasi aktif generasi muda. Fokusnya termasuk kelompok marginal, dalam upaya produktif di bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dan hal yang bermanfaat tidak hanya bagi generasi muda itu sendiri tetapi juga bagi komunitas dan masyarakat luas. Tujuan dari program Urban Futures adalah untuk mendorong kolaborasi dan advokasi generasi muda untuk penetapan prioritas dalam peningkatan kebijakan pangan inklusif, selaras dengan pembelajaran dan bukti dari penelitian AKATIGA. Sementara itu, program Seni Tani memperkuat relevansi konsep sistem pangan lokal yang kami tawarkan, dengan landasan kuat dalam pengembangan Community Supported Agriculture (CSA) yang menampilkan mekanisme pertanian berkelanjutan.
Tentang Urban Futures (UF)
Urban Futures (UF) adalah program global berdurasi 5 tahun (2023–2027) yang memadukan sistem pangan perkotaan, kesejahteraan orang muda, dan aksi iklim. Program ini dikelola oleh Hivos, Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), serta mitra, jejaring, dan pakar lokal. Urban Futures beroperasi di 10 kota di Kolombia (Cali dan Medellín), Ekuador (Manabí dan Quito), Indonesia (Bandung dan Manggarai Barat), Zambia (Chongwe dan Kitwe), dan Zimbabwe (Bulawayo dan Mutare). Kota-kota perantara ini memiliki ukuran yang bervariasi namun memiliki kesamaan, yaitu berkembang dengan pesat, menghubungkan wilayah metropolitan dan pedesaan atau kelompok kota yang berbeda di dalam suatu sistem perkotaan, dan mengelola arus orang, barang, modal, informasi, dan pengetahuan. Masing-masing kota ini memiliki tantangan dan peluang yang berbeda.